Minggu, 22 Maret 2015

UPACARA KELAHIRAN DI ADAT BATAK



UPACARA KELAHIRAN DI ADAT BATAK

http://www.gobatak.com/wp-content/uploads/2012/10/martutu-aek-baptisan-batak-kuno.jpg

Nilai budaya Batak Toba yang menjadi sumber sikap perilaku sehari-hari dalam kehidupannya terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan itu sendiri sangat erat dengan kelahiran, dan kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kelahiran menentukan kedudukan seseorang pada sistem kemasyarakatan Batak Toba. Karena tingginya nilai yang terdapat pada kekerabatan itu maka batak toba beridentitas pada marga dan garis keturunan yang disebut Tarombo atau Silsilah. Semua suku batak toba sangat menghargai marga dan silisilahnya. Berdasarkan marga dan silsilah itulah ditentukan kedudukan seseorang pada kelompok keluarga dan masyarakatnya yang berkaitan pada Dalihan Natolu.
Seorang anak sulung pada suatu keluarga merupakan mata ni ari binsar atau matahari pagi bagi keluarga itu sendiri. Anak pertama dipandang oleh keluarga memiliki hikmad kebiijaksanaan. Anak sulung mempunyai tanggungjawab yang besar bagi keluarga karena apabila seorang ayah meninggal nantinya maka anak sulung lah yang mengurus keluarga ataupun menggantikan posisi seorang ayah dalam keluarga. Itulah sebabnya anak suklung itu mempunyai karisma dan wibawa. Anak sulung merupakan hikmad keluarga yang mengandung makna spiritual dan sifatnya bersifat ritual. Dikatakan ritual karena apabila si adik berani mendahului si anak sulung atau lebih kepada anak laki-laki, maka akan terasa pada diri adiknya itu sesuatu yang tidak sempurna, dalam hidupnya ia akan merasa bersalah dan akan merupakan siksaan pada dirinya sehari-hari.
Pada zaman dahulu, budaya rasa dari kelahiran diwujudkan dalam bentuk sistem pemerintahan batak toba. Misalnya, pemerintahan pada huta-huta bolon-lumban-atau horja dan sampai saat inipun budaya rasa hikmad tersebut masih dihayati orang batak toba pada lingkungan kekeluargaan dan acara-acara adapt. Seorang anak sulung atau anak yang lahir sebagai abang tidak dapat bertindak sesuka hatinya atau yang disebut otoriter. Kepemimpinan pada batak toba berturut-turut dari anak pertama sampai dengan anak yang paling bungsu atau yang disebut dengan garis patriakhal .

I. Upacara-upacara
a. upacara menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.

Bulan 2 : tel;ah bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai terjadinya rambut.
Bulan 9: - proses pemisahan air ketuban
- proses pemisahan bungkus
- proses pemisahan tali-tali
- proses pemisahan darah pengiring maut
- dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar, selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.


b. upacara saat terjadi kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.

 

c. upacara setelah kelahiran
 
Ø Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.

Ø Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.

Ø Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.

Ø Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.

Ø Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.

Ø Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.

Ø Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.

Ø Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.

Ø Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.

Ø Dugu-dugu: sebuah makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar